Selama dua tahun terakhir, kita sering mendengar tentang perubahan waktu atau “normal baru”. Ada banyak pendapat tentang apakah kerja jarak jauh lebih baik atau akan merusak bisnis. Reed Hastings, CEO Netflix, mengatakan “Saya tidak melihat ada manfaatnya”, sedangkan Suresh Kumar, CTO Walmart, mengatakan “Kami tidak hanya bertahan, kami bahkan berkembang pesat”. Namun, penelitian menunjukkan bahwa kita perlu tahu bagaimana kerja hybrid sebenarnya berfungsi. Ada banyak pertanyaan yang muncul, seperti seberapa seimbangnya bekerja di rumah versus bekerja di kantor, dan siapa yang memutuskan hal itu? Apakah manajer atau karyawan? Atau keduanya? Berapa lama seorang karyawan bisa produktif saat bekerja di rumah? Apakah ada batasnya? Bagaimana cara terbaik untuk mengatur kerja? Apa kriteria yang harus digunakan berdasarkan senioritas, tugas, atau situasi pribadi? Daftar pertanyaan ini terus berlanjut dan sayangnya jawabannya tidak semudah yang dibayangkan.
Pertanyaan-pertanyaan ini sulit dijawab karena kita berpikir tentang kerja hybrid sebagai satu masalah tunggal. Padahal, sebenarnya terdapat tiga masalah yang berbeda. Pertama adalah masalah efektivitas dalam memenuhi komitmen kepada para pemangku kepentingan. Ini biasa disebut sebagai perdebatan tentang efektivitas. Kedua adalah kemampuan dalam menarik dan mempertahankan talenta yang dibutuhkan. Ini adalah diskusi tentang sumber daya manusia. Dan ketiga adalah bagaimana mempertankan dan mengangkan budaya perusahaan. Ini berhubungan dengan hubungan sosial di tempat kerja.
Mari kita fokus sejenak pada tantangan-tantangan yang melekat pada salah satu masalah ini. Saya telah bekerja dengan berbagai organisasi selama dua tahun terakhir untuk membantu mereka menentukan bagaimana cara bekerja di masa depan. Saya menyatakan bahwa kerja jarak jauh selalu baik. Saya pikir kita cukup cerdas untuk menyadari bahwa tidak ada satu solusi yang cocok untuk semua situasi. Namun, kita juga jangan terlalu percaya pada data. Ijinkan saya memberikan contoh-contoh. Banyak orang menunjuk pada efektivitas organisasi selama pandemi COVID-19 sebagai bukti bahwa mereka mampu bekerja jarak jauh dengan baik. Namun, bukti itu tidak menjelaskan dengan pasti apakah kerja jarak jauh akan berhasil dalam jangka panjang. Situasi pandemi adalah eksperimen sosial besar dengan kondisi unik. Banyak organisasi melakukan efisiensi singkat demi bertahan hidup. Namun, pertanyaannya adalah apakah itu bisa berkelanjutan. Data menunjukkan bahwa jam kerja orang-orang meningkat di seluruh dunia dan banyak yang mengatakan bahwa mereka kesulitan membatasi batas antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Data juga menunjukkan bahwa pengalaman ini tidak sama bagi semua orang. Data dari “The Economist” menunjukkan bahwa orang tua dengan anak sekolah mengalami stres yang lebih besar dibandingkan dengan yang lainnya. Data dari Microsoft menunjukkan bahwa cara bekerja juga berubah, dengan orang-orang bekerja lebih sedikit secara kolaboratif. Jadi, pertanyaan apakah kerja jarak jauh efektif membutuhkan jawaban yang kontekstual. Konteksnya tergantung pada orang-orang yang bekerja dan tugas-tugas yang mereka coba selesaikan. Ingatlah bahwa tidak ada ukuran yang cocok untuk semua orang dan kita perlu memikirkan keberlanjutan efektivitas.
Selanjutnya, mari bicara tentang sumber daya manusia. Jika Anda bertanya kepada para rekruter saat ini, pertanyaan umum yang mereka tanyakan adalah “Apa kebijakan fleksibilitas kerja Anda?”. Kita sedang menghadapi peningkatan permintaan akan kebijakan-kebijakan ini, yang popularitasnya dikembangkan oleh perusahaan teknologi yang sukses seperti Google, dkk. Apakah ada barista di lobi? Apakah ada ruang untuk tidur siang? Kolam bola? Seluncuran? Atau taman kanak-kanak di tempat kerja? Jadi, alih-alih membawa pekerjaan ke rumah, kita malah membawa rumah ke tempat kerja. Karyawan saat ini dan calon karyawan mempertimbangkan kebijakan kerja hybrid sebagai kriteria penting dalam memutuskan di mana mereka ingin bekerja. Inilah tantangan utama dalam sumber daya manusia. Yang perlu kita sadari adalah bahwa perbandingan sebenarnya bukan antara bekerja di rumah dan bekerja di kantor, melainkan persepsi tentang bekerja di rumah versus bekerja di kantor. Kita perlu mengubah cara pandang ini untuk memastikan bahwa setiap pendekatan memberikan nilai tambah atau sebaliknya bagi individu-individu tersebut.
Terakhir, mari bicara tentang hubungan sosial di tempat kerja. Ketika Anda bergabung dengan sebuah organisasi, Anda mungkin mengikuti orientasi, melihat sekeliling Anda, berbicara dengan orang-orang, mengamati, dan belajar tentang bagaimana bekerja di sana. Mengapa ini penting? Karena penelitian menunjukkan bahwa pengurangan hal-hal seperti rasa aman secara psikologis, kepercayaan, perubahan dalam dinamika kekuasaan, meningkatnya perasaan isolasi dan kesepian saat bekerja jarak jauh dapat mempengaruhi budaya organisasi dan membuat komunikasi menjadi sulit. Sistem sosial dalam organisasi adalah sistem manusia yang dinamis yang terus berkembang. Sejujurnya, saya tidak memiliki jawaban pasti mengenai masalah ini. Dan jika ada yang memberikan jawaban pasti, maka mereka mencoba menjual sesuatu kepada Anda. Kita tahu bahwa pendekatan yang berbeda membangun dan menetapkan budaya perusahaan sesuai dengan konteksnya. Yang perlu kita ingat adalah bahwa budaya organisasi adalah sesuatu yang sifatnya jangka panjang dan apa yang kita pilih akan mempengaruhi hubungan sosial dalam organisasi serta konsekuensinya.
Jadi, ketika membahas sosial fabric (kain sosial) ini, kita perlu mempertimbangkan tiga percakapan yang berbeda ini yang juga sepenuhnya independen satu sama lain. Kita juga perlu menyadari bahwa posisi-posisi ideologis tentang apa yang menciptakan nilai bagi organisasi berbeda-beda. Apakah itu hasil kerja yang dihasilkan? Apakah itu orang-orang dalam organisasi? Atau mungkin keduanya? Pertama-tama, langkah penting adalah membawa masalah-masalah ini ke meja diskusi dan memiliki percakapan terbuka. Meskipun hal ini tidak mudah dilakukan, kita harus mencari kesepakatan meskipun ada perbedaan pendapat tentang isu-isu ini, baik itu antara atasan dan bawahan ataupun dalam kepemimpinan organisasi secara keseluruhan.
Setelah kita menemukan perbedaan pendapat, pertanyaan yang harus kita ajukan pada diri kita sendiri adalah apakah perbedaan itu benar-benar dapat menciptakan efektivitas, ataukah hanya merupakan perbedaan prioritas yang sedikit berbeda dalam konteks staffing dan budaya organisasi. Ini adalah tantangan yang kompleks karena hampir memiliki posisi ideologis yang berbeda tentang apa yang menciptakan nilai bagi organisasi. Namun, yang perlu kita ingat adalah bahwa kita beroperasi dalam cara yang mungkin sama dengan cara kita membangun budaya saat kita berada di hadapan orang lain secara langsung.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa budaya organisasi adalah permainan panjang. Apa yang dipilih akan mempengaruhi kain sosial dalam organisasi serta dampaknya secara keseluruhan. Jadi, ketika kita membahas kain sosial ini, kita perlu mempertimbangkan tiga percakapan yang berbeda ini yang juga sepenuhnya independen satu sama lain. Kita juga perlu menyadari bahwa posisi-posisi ideologis tentang apa yang menciptakan nilai bagi organisasi berbeda-beda.
Tantangan terbesar adalah untuk membawa masalah ini ke meja diskusi dengan cara yang terbuka dan jujur. Meskipun hal ini tidaklah mudah, kita perlu meraih kesepakatan meskipun ada perbedaan pendapat tentang isu-isu ini, baik itu antara atasan dan bawahan ataupun dalam kepemimpinan organisasi secara keseluruhan. Ini adalah langkah pertama yang penting untuk memastikan bahwa setiap pendekatan yang diambil menghasilkan nilai tambah bagi individu-individu dalam organisasi dan mempertahankan hubungan sosial yang sehat.
Sekarang, pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana kita dapat mencapai kesepakatan dan menjaga kain sosial yang kuat dalam organisasi. Jawabannya mungkin tidak ada jawaban tunggal yang benar untuk semua organisasi. Setiap organisasi memiliki konteks dan keunikan sendiri. Namun, penting untuk menciptakan ruang bagi percakapan terbuka dan menghargai pandangan yang berbeda. Dalam hal ini, kepemimpinan organisasi memiliki peran penting dalam memfasilitasi dialog dan memberikan kerangka kerja yang jelas.
Penting juga untuk melibatkan karyawan dalam proses pengambilan keputusan terkait kebijakan kerja hybrid. Karyawan harus merasa didengar dan memiliki kesempatan untuk memengaruhi kebijakan tersebut. Ini akan membantu membangun rasa kepemilikan dan meningkatkan kepuasan kerja.
Dalam menghadapi tantangan kerja hybrid, kita harus mengakui bahwa tidak ada jawaban tunggal atau pendekatan yang sempurna.Yang terpenting adalah untuk terus beradaptasi, belajar dari pengalaman, dan berkomunikasi secara terbuka dalam upaya menciptakan lingkungan kerja yang inklusif, produktif, dan memenuhi kebutuhan semua individu dalam organisasi. Tulisan ini hanya memberikan gambaran umum tentang tantangan dan pertanyaan yang muncul sehubungan dengan kerja hybrid. Setiap organisasi harus mengeksplorasi konteksnya sendiri dan bekerja menuju solusi yang paling sesuai dengan kebutuhan mereka.