Kelakuan Turis yang Paling Bikin Kesal di Berbagai Negara, dan Gimana Kamu Bisa Jadi Turis yang Lebih Beradab

Kalau kamu suka traveling, ada satu hal yang perlu kamu sadari: di mata orang lokal, kamu itu “turis”. Artinya, semua kelakuan kamu, dari cara kamu antre, naik transportasi, sampai cara kamu foto-foto, akan dinilai dan kadang diomongin habis-habisan. Di berbagai negara, orang lokal punya unek-unek yang kurang lebih sama: turis sering datang tanpa respek, tanpa usaha memahami budaya setempat, dan kadang merasa dunia harus menyesuaikan diri dengan mereka.

Dari obrolan panjang warga dunia di internet, keliatan banget pola yang berulang: masalah antrean, cara berkendara, kebiasaan mabuk, kurangnya adab di tempat umum, sampai ketidaktahuan soal alam dan aturan keamanan. Di artikel ini, kamu akan diajak melihat satu per satu kelakuan turis yang paling sering dikeluhkan, plus gimana caranya supaya kamu nggak jadi bagian dari masalah itu.

Table of Contents

Antrean: Sederhana tapi “Susah”

Budaya Antre di Inggris dan Negara Lain

Banyak orang Inggris bangga banget dengan budaya antre mereka. Buat mereka, antre itu semacam “olah rasa sosial”, di mana semua orang sudah otomatis tahu siapa yang datang duluan, siapa yang harus dilayani dulu, meskipun bentuk antreannya nggak selalu lurus rapi kayak di buku pelajaran. Di pub misalnya, orang berdiri menyebar di sepanjang bar, tapi bartender biasanya tahu siapa yang datang duluan, dan pelanggan juga saling menghormati urutan itu tanpa perlu ribut.

Masalahnya mulai muncul ketika turis datang dan nggak paham konsep ini. Ada yang langsung nyerobot ke depan, ada yang sengaja pura-pura nggak lihat antrean, atau berdiri di posisi yang jelas kelihatan mau “nyelip” begitu ada celah. Buat orang lokal, ini bukan sekadar persoalan urutan, tapi soal rasa hormat. Kamu seakan bilang, “waktu kamu nggak sepenting waktu aku”.

Padahal, secara konsep, antre itu sederhana banget. Tapi di banyak negara, orang lokal mengeluhkan hal yang sama: “masa sih konsep sesimpel ini aja nggak paham”. Menariknya, pelanggaran antre sering datang dari turis yang justru berasal dari negara maju, bukan cuma dari tempat di mana budaya antre memang belum kuat.

Kenapa Orang Lokal Bisa Kesal soal Antrean

Buat kamu mungkin antre itu cuma masalah menunggu sedikit lebih lama. Tapi buat orang lokal, apalagi di negara yang tertib, antre adalah simbol kedewasaan sosial. Orang yang nyerobot antre dianggap:

  1. Nggak peduli sama orang lain
  2. Merasa dirinya istimewa
  3. Nggak mau beradaptasi dengan norma setempat

Karena itu, kalau kamu traveling, hal paling dasar yang bisa kamu lakukan adalah: perhatikan sekitar, lihat apakah orang membentuk antrean, dan ikut aturan tidak tertulis itu. Kalau ragu, kamu bisa tanya pelan, “Excuse me, is there a line?” atau dalam bahasa setempat kalau kamu bisa sedikit-sedikit.

Transportasi: Dari Sepeda di Kopenhagen sampai Skuter di Bali

Turis dan Sepeda di Kota yang Serius soal Bike Lane

Di kota seperti Kopenhagen dan Amsterdam, sepeda itu bukan mainan, tapi moda transportasi utama. Warga lokal menggunakan sepeda untuk kerja, sekolah, dan aktivitas sehari-hari. Ada jalur sepeda khusus, aturan kecepatan tidak tertulis, dan etika berkendara yang cukup ketat. Masalahnya, banyak turis menganggap bersepeda di kota seperti ini adalah aktivitas wisata lucu, kayak naik sepeda di taman.

Keluhan yang sering muncul dari warga lokal antara lain:

  1. Turis berkendara terlalu pelan sampai menghambat arus utama di jalur sepeda.
  2. Tiba-tiba berhenti di tengah jalur cuma buat foto atau lihat peta.
  3. Nggak tahu cara memberi tanda, misalnya mengangkat tangan sebelum berbelok atau berhenti.
  4. Nggak paham bahwa jalur sepeda itu “serius”, bukan tempat santai-santai.
Baca juga:  Cara Menghitung Akar

Buat orang lokal, ini bukan sekadar menyebalkan, tapi juga bahaya. Jalur sepeda punya ritme. Kalau satu orang berhenti mendadak tanpa sinyal, tabrakan bisa terjadi beruntun. Kamu mungkin pikir, “ah cuma sepeda”, tapi di kota seperti ini, kecelakaan sepeda bisa berakibat cedera serius.

Skuter dan Motor di Bali: “Chaos” yang Ternyata Punya Pola

Bali jadi contoh klasik lain. Banyak turis yang baru pertama kali naik motor justru “berlatih” di Bali. Padahal lalu lintas di Bali kelihatan kacau, tapi sebenarnya punya pola dan “flow” yang dipahami orang lokal. Pengendara lokal biasanya punya refleks tinggi, terbiasa bermanuver di ruang sempit, dan membaca gerak kendaraan lain.

Kelakuan turis yang sering dikritik di Bali dan daerah sejenis antara lain:

  1. Naik motor tanpa pengalaman sama sekali, di jalan yang sudah padat dan kompleks.
  2. Nggak paham rambu dan arah lalu lintas, tapi tetap memaksa bawa motor sendiri.
  3. Tiba-tiba pelan di tengah jalan, berhenti seenaknya, atau berbelok tanpa lihat spion.
  4. Tidak memakai helm atau pakai asal-asalan hanya demi foto yang kelihatan “keren”.

Ada juga turis yang menyadari batas dirinya, dan memilih menyewa sopir lokal dengan mobil atau van. Ini justru dipuji. Selain lebih aman, kamu juga bantu pendapatan warga lokal. Mereka tahu jalan, tahu kondisi lalu lintas, dan bisa jadi pemandu sekalian.

Kalau kamu datang ke kota atau daerah yang punya budaya transportasi tertentu, jangan merasa kamu bisa langsung ikut tanpa belajar dasar dulu. Entah itu sepeda di Kopenhagen, jalur sepeda di Amsterdam, atau motor di Bali, selalu ada aturan tertulis dan tidak tertulis yang harus kamu hormati.

Kalau kamu cuma menjadikan aktivitas itu “main-main”, sementara bagi penduduk lokal itu cara hidup mereka, di situlah gesekan muncul.

Perilaku Mabuk, Pesta, dan “Turis Pesta” yang Mengganggu

Stag Party, Hen Party, dan Drunk Tourism

Salah satu keluhan paling sering dari warga lokal di kota wisata adalah soal turis yang datang hanya untuk mabuk. Contoh klasiknya: Amsterdam. Banyak rombongan datang khusus untuk pesta, minum alkohol sebanyak-banyaknya, dan mengkonsumsi hal-hal lain yang legal di sana. Hasilnya: teriakan di tengah malam, muntah di jalan, gangguan ke warga yang hanya ingin tidur, dan ketidaknyamanan umum.

Kota-kota di Eropa sering mengeluh soal “stag party” dan “hen party” dari luar negeri, terutama dari Inggris. Keluhan yang muncul:

  1. Mereka datang hanya untuk minum dan bersenang-senang, tanpa peduli budaya lokal.
  2. Perilaku mereka terhadap perempuan sering kasar dan mengganggu.
  3. Mereka bikin kerusakan, dari kamar hotel sampai fasilitas umum.
  4. Mereka mengotori kota dengan sampah, botol, dan bekas muntahan.

Di mata warga lokal, turis seperti ini mengubah citra kota mereka jadi “taman bermain orang asing” yang tidak menghormati siapa pun.

Mabuk di Tempat yang Salah

Masalahnya bukan cuma “mabuk”. Di banyak tempat, minum itu bagian dari budaya sosial. Tapi yang bikin orang lokal kesal adalah ketika turis:

  1. Mabuk berat di area permukiman.
  2. Berteriak di jalan tengah malam.
  3. Buang air sembarangan di sudut bangunan atau kebun orang.

Ini bukan sekadar tidak sopan, tapi juga bikin warga lokal benci dengan kehadiran turis. Bahkan ada kota yang mulai bikin regulasi khusus buat membatasi turis pesta seperti ini, atau mengenalkan denda jika seseorang ketahuan mengganggu ketertiban akibat alkohol.

Kurang Adab di Tempat Umum: Suara, Gadget, dan Ruang Bersama

Bersuara Keras di Transportasi Publik

Di banyak negara, transportasi publik itu dianggap ruang bersama yang harus dijaga ketenangannya. Orang naik kereta, bus, atau metro untuk pulang kerja, istirahat, atau membaca. Kelakuan turis yang paling sering bikin orang lokal ngelus dada antara lain:

  1. Bicara dengan volume tinggi, seolah sedang di kafe.
  2. Telepon dengan speakerphone, sehingga satu gerbong mendengar isi obrolan.
  3. Menonton video atau mendengarkan musik tanpa headphone.

Buat kamu itu mungkin biasa, tapi buat orang lokal, ini tanda kamu nggak punya empati. Mereka merasa ruang pribadi mereka dirampas di tempat umum.

Memotret dan Merekam Tanpa Batas

Turis juga sering dianggap kelewatan dalam hal foto dan video. Beberapa contoh:

  1. Memotret orang lokal dari jarak dekat tanpa izin.
  2. Merekam suasana di transportasi umum sambil menyertakan wajah orang lain, lalu mengunggahnya ke media sosial.
  3. Menggunakan kamera besar dan tripod di tempat sempit, mengganggu lalu lintas pejalan kaki.

Kamu mungkin kepingin dokumentasi sebanyak mungkin, tapi ingat, orang lain bukan properti visual kamu. Di banyak budaya, mengambil foto seseorang tanpa izin bisa dianggap tidak sopan, bahkan ofensif.

Situs Bersejarah dan Memorial: Bukan Taman Bermain

Salah satu keluhan yang paling menyentuh adalah soal turis yang tidak menghormati situs memorial, terutama yang berhubungan dengan tragedi kemanusiaan. Contoh nyata: Holocaust Memorial di beberapa kota Eropa, yang sering disalahgunakan sebagai tempat:

  1. Foto-foto lucu, lompat-lompat, atau pose model.
  2. Bermain petak umpet dan berlarian.
  3. Konten “estetik” untuk media sosial.
Baca juga:  Rahasia untuk Lebih Kuat secara Mental

Yang lebih parah, ada turis yang memberikan salam Hitler untuk bercanda, atau terus-menerus membahas perang dunia dengan cara yang dangkal, seolah itu tema hiburan.

Padahal, bagi warga lokal, tempat seperti ini punya makna sejarah dan emosional yang sangat mendalam. Mereka datang untuk merenung dan mengingat korban, bukan untuk melihat turis tertawa dan bercanda di atas penderitaan masa lalu.

Etika Dasar di Situs Penting

Kalau kamu datang ke tempat seperti memorial perang, museum tragedi, atau area makam, beberapa hal berikut sebaiknya kamu pegang:

  1. Jaga volume suara.
  2. Hindari pose foto yang norak, berlebihan, atau tidak pantas.
  3. Pahami konteks sejarah tempat tersebut sebelum kamu menggunakannya sebagai latar foto.

Dengan sedikit usaha memahami apa yang kamu datangi, kamu sudah menunjukkan penghormatan besar bagi masyarakat setempat.

Lingkungan dan Alam: Dari Biosecurity sampai Sampah di Pegunungan

Aturan Biosecurity: Kenapa Bawa Makanan Ternyata Serius Banget

Negara seperti Selandia Baru dan Australia punya aturan ketat soal biosecurity. Mereka sangat protektif terhadap ekosistemnya, karena spesies asing, baik tanaman maupun hewan kecil, bisa merusak keseimbangan alam mereka.

Namun, banyak turis yang tetap datang membawa:

  1. Buah-buahan segar.
  2. Daging, sayuran, atau bahan makanan mentah.
  3. Tanaman atau bibit, bahkan kadang tanpa sadar.

Hasilnya, mereka kena denda besar, misalnya sampai ratusan dolar karena melanggar aturan. Ada yang marah, ada yang nangis, padahal informasi sudah jelas disampaikan di bandara dan situs resmi imigrasi.

Pertanyaannya, kenapa kamu perlu membawa “satu koper penuh bahan makanan mentah” ke negara lain? Bagi warga lokal, ini terlihat sangat tidak masuk akal. Yang mereka lihat: kamu mengabaikan aturan hanya demi kenyamanan pribadi, dan berpotensi merusak alam mereka.

Buang Sampah Sembarangan dan Merusak Alam

Di area pegunungan, taman nasional, dan pantai, keluhan lain muncul: sampah turis. Contohnya:

  1. Tisu bekas buang air kecil atau besar ditinggalkan di alam terbuka.
  2. Plastik permen, bungkus makanan, botol minuman dibuang di jalur hiking.
  3. Orang berhenti di tengah jalan raya hanya untuk foto pemandangan, menyebabkan bahaya lalu lintas.

Warga lokal yang sangat mencintai alam mereka merasa frustrasi, karena setiap musim liburan, mereka harus “memungut jejak” yang ditinggalkan turis. Padahal, prinsip dasarnya mudah: apa pun yang kamu bawa masuk, kamu bawa keluar lagi. Kalau benar-benar harus buang, cari tempat yang tepat. Bahkan kalau kamu terpaksa buang tisu di alam, setidaknya berusaha menyembunyikannya dengan sopan, bukan dibiarkan berserakan sampai jelas terlihat.

Naik Gunung dan Kurang Persiapan

Masalah lain yang sering muncul adalah turis yang naik gunung atau trekking tanpa peralatan yang tepat. Contohnya:

  1. Datang dengan pakaian kasual tanpa jaket yang memadai.
  2. Tidak membawa air cukup, peta, atau alat navigasi.
  3. Mengira jalur gampang, padahal cuaca dan medan bisa berubah drastis.

Ketika terjadi sesuatu, tim penyelamat lokal yang harus turun tangan. Mereka mempertaruhkan nyawa untuk menolong orang yang sebenarnya bisa selamat jika melakukan riset sederhana sebelum berangkat. Bagi penduduk lokal, ini menimbulkan kelelahan fisik dan emosional, sekaligus beban finansial.

Satwa Liar: Bukan Taman Safari Pribadi Kamu

Jangan Mendekat, Jangan Menyentuh

Dalam konteks wisata alam dan satwa, keluhan klasik dari pemandu dan warga lokal adalah soal turis yang:

  1. Mendekati hewan liar untuk selfie.
  2. Memberi makan hewan, padahal jelas dilarang.
  3. Mencoba menyentuh atau bermain dengan hewan yang berbahaya.

Contoh ekstremnya: turis yang mau turun dari mobil di taman nasional Afrika untuk foto dekat dengan singa atau badak, membuka jendela mobil untuk “menyapa” hewan liar, bahkan mencoba menyentuh. Banyak cerita tragis tentang orang yang terluka parah atau meninggal karena menganggap hewan liar seperti hewan peliharaan.

Ada juga yang nekat bawa mobil terlalu dekat dengan gajah atau kuda nil hanya demi foto dramatis. Bagi pemandu lokal, ini bukan hanya bodoh, tapi juga merusak reputasi dan membuat hewan liar semakin tidak nyaman dengan kehadiran manusia.

Disturbing Wildlife: Bukan Cuma soal Bahaya, tapi juga Etika

Mengganggu satwa liar bukan cuma soal risiko kamu diserang. Perilaku kamu bisa:

  1. Mengubah pola makan dan pergerakan hewan.
  2. Membuat hewan stres dan agresif.
  3. Mengganggu proses alami, seperti masa kawin atau pengasuhan anak.

Banyak taman nasional dan kawasan konservasi menekankan: jangan mendekat, jangan menyentuh, jangan memberi makan. Kalau kamu benar-benar cinta alam, kamu justru harus menjaga jarak aman.

Perumahan, AirBnB, dan “Merusak” Desa

Di beberapa negara, terutama di Eropa, warga lokal mengeluhkan turis bukan hanya karena perilaku saat liburan, tapi juga dampak jangka panjang dari pariwisata. Salah satunya adalah pembelian rumah untuk dijadikan AirBnB atau akomodasi jangka pendek.

Ketika terlalu banyak rumah di suatu desa atau kota kecil dijadikan properti sewa wisata, efek yang dirasakan warga lokal antara lain:

  1. Harga rumah naik karena spekulasi dan permintaan investor.
  2. Warga lokal sulit membeli rumah sendiri di kampung halamannya.
  3. Lingkungan yang dulu tenang berubah jadi kawasan wisata yang ramai dengan “tetangga baru” setiap minggu.

Pada titik ini, warga lokal mulai melihat turis bukan sebagai tamu, tapi sebagai ancaman terhadap kehidupan mereka sehari-hari. Bukan cuma soal kelakuan per individu, tapi soal sistem pariwisata yang tidak terkendali.

Baca juga:  Cara Mengalahkan Kebiasaan Menunda

Mikro-kesopanan: Hal-hal “Kecil” yang Bikin Orang Lokal Ilfeel

Antrean Eskalator dan Area Publik

Ada satu contoh sederhana yang sering muncul: berdiri di sisi yang salah di eskalator. Di kota yang punya aturan tidak tertulis “berdiri di kanan, jalan di kiri” atau sebaliknya, turis yang tidak tahu aturan ini dan berdiri di sisi yang seharusnya dipakai untuk lewat dianggap mengganggu.

Sekilas sepele, tapi di jam sibuk, ini bisa sangat menghambat orang yang buru-buru. Lagi-lagi, inti masalahnya adalah kurangnya observasi dan adaptasi.

Buang Hajat di Tempat yang Tidak Pantas

Kedengarannya ekstrem, tapi keluhan semacam ini nyata: turis yang buang air kecil atau besar di kebun orang, di sudut bangunan, atau ruang semi-pribadi, apalagi kalau infrastruktur toilet sebenarnya tersedia tidak terlalu jauh. Ditambah lagi, meninggalkan tisu sebagai “bukti” tanpa rasa bersalah.

Buat orang lokal, ini bentuk ketidakpedulian paling kasar terhadap lingkungan dan privasi mereka. Kalau kamu benar-benar terdesak, setidaknya kamu harus berusaha menjaga kebersihan dan mencari tempat yang paling minim gangguan bagi orang lain.

Tabel: Perilaku Turis yang Sering Dikeluhkan

Situasi Perilaku Turis yang Mengganggu Perilaku yang Disarankan
Antrean di pub / stasiun Nyerobot, pura-pura nggak lihat antrean Perhatikan pola antre, tanya kalau ragu, hormati urutan
Bike lane di Kopenhagen / Amsterdam Pelan banget, berhenti mendadak, nggak kasih tanda Ikuti arus, pelajari sinyal tangan, jangan berhenti di jalur
Motor / skuter di Bali Nyetir tanpa pengalaman, tanpa helm, zig-zag Sewa sopir lokal kalau belum mahir, pakai helm, pelajari aturan
Tempat memorial sejarah Foto gaya main-main, berisik, bercanda soal tragedi Jaga sikap, pelajari konteks sejarah, hormati suasana
Alam terbuka / gunung Buang sampah, tisu bekas, berhenti di tengah jalan buat foto Bawa kembali semua sampah, cari tempat aman untuk berhenti
Satwa liar Mendekat untuk selfie, memberi makan, menyentuh Jaga jarak, ikuti aturan pemandu, hanya mengamati dari jauh
Kota pesta (misalnya Amsterdam) Mabuk berat, teriak, mengganggu warga, buang air sembarangan Kontrol konsumsi alkohol, hormati jam tenang, gunakan toilet umum
Biosecurity di negara ketat Menyelundupkan buah, daging, tanaman, marah saat kena denda Baca aturan sebelum berangkat, jangan bawa makanan mentah

Bagaimana Kamu Bisa Jadi Turis yang Disukai, Bukan Dibenci?

Kalau kamu membaca semua keluhan di atas, mungkin kamu berpikir, “Wah, kok banyak banget aturannya?” Sebenarnya bukan tentang banyak aturan, tapi tentang satu sikap dasar: respek. Begitu kamu memposisikan dirimu sebagai tamu, bukan “penguasa sementara” di tempat yang kamu datangi, keputusan-keputusan kecil kamu akan otomatis berubah.

Beberapa prinsip sederhana yang bisa kamu pegang:

  1. Observasi dulu, baru bertindak. Lihat bagaimana orang lokal antre, naik transportasi, atau berinteraksi.
  2. Jangan malas baca aturan. Baik itu soal biosecurity, dress code, atau larangan di tempat wisata.
  3. Ingat bahwa tempat yang kamu datangi adalah rumah orang lain, bukan taman bermain pribadi.
  4. Kalau ragu, selalu ambil keputusan yang paling tidak mengganggu orang lain.

Dengan cara ini, kamu bukan cuma menghindari jadi “turis menyebalkan”, tapi juga ikut menjaga hubungan baik antara penduduk lokal dan pengunjung. Dalam jangka panjang, ini penting untuk keberlanjutan pariwisata di mana pun.

Pertanyaan Seputar Perilaku Turis

1. Kalau budaya antre di negara tujuan beda dari negara asal, aku harus gimana?

Kamu sebaiknya selalu melihat dulu pola yang ada. Kalau banyak orang tampak menunggu di satu area, besar kemungkinan itu antrean, meskipun bentuknya nggak lurus. Kalau bingung, tanya dengan sopan, misalnya, “Is there a queue?” atau dalam bahasa lokal kalau kamu bisa. Lebih baik dikira terlalu sopan daripada dikira nyerobot. Intinya, jangan asumsi bahwa sistem di negara kamu otomatis berlaku di mana-mana.

2. Boleh nggak sih naik motor atau sepeda di luar negeri kalau aku masih pemula?

Boleh, tapi konteksnya penting. Kalau di kota tersebut sepeda atau motor adalah transportasi utama dengan ritme cepat dan aturan ketat, dan kamu benar-benar pemula, sebaiknya jangan memaksa. Di Bali misalnya, kalau kamu belum terbiasa mengendarai motor di lalu lintas padat, lebih aman sewa sopir. Di kota yang serius soal bike lane, cari jalur yang lebih santai atau pelajari dulu aturan dasar sebelum bergabung ke arus utama.

3. Kenapa orang lokal begitu sensitif soal alkohol dan pesta, padahal mereka juga minum?

Banyak masyarakat tidak masalah dengan alkohol itu sendiri, tapi masalah muncul ketika alkohol dipakai sebagai alasan untuk bersikap tidak sopan. Orang lokal biasanya minum di lingkungan sosial yang mereka pahami, dengan norma tertentu. Ketika turis datang dan langsung mabuk berat, teriak di jalan, ganggu tidur orang, atau buang air sembarangan, itu yang bikin mereka muak. Jadi, bukan soal “minum”, tapi soal dampak perilaku kamu setelah minum.

4. Kalau aku ingin foto di memorial atau tempat bersejarah, apakah dilarang?

Tidak selalu dilarang, tapi caranya harus hati-hati. Sebelum foto, lihat dulu: apakah ada tanda larangan? Apakah orang lain foto dengan cara yang sopan? Hindari pose yang berlebihan, melompat, pura-pura jatuh, atau gaya yang tidak menghormati suasana. Kalau tempat itu berkaitan dengan tragedi atau kematian massal, lebih baik fokus pada dokumentasi yang tenang dan reflektif, bukan konten lucu untuk media sosial.

5. Masa sih bawa makanan mentah ke negara lain bisa sampai kena denda besar?

Iya, di negara dengan aturan biosecurity ketat, hal itu sangat serius. Buah, sayur, daging, biji, atau tanaman kecil bisa membawa hama atau penyakit yang merusak ekosistem lokal. Itu sebabnya negara seperti Selandia Baru dan Australia memberi denda tinggi untuk pelanggaran ini. Sebelum berangkat, selalu cek website resmi imigrasi atau bea cukai negara tujuan, dan jangan pernah sengaja menyembunyikan makanan mentah di koper.

6. Gimana kalau aku terpaksa buang air di alam dan nggak ada toilet?

Kalau benar-benar nggak ada pilihan lain, lakukan dengan cara yang paling minim dampak. Cari tempat yang jauh dari jalur utama dan sumber air. Jangan tinggalkan tisu berserakan, bawa kembali dalam kantong sampah kecil atau setidaknya kubur dengan baik. Prinsipnya: jangan tinggalkan bekas yang mengganggu orang lain atau merusak pemandangan.

7. Apa satu hal paling penting yang harus aku ingat supaya nggak jadi turis menyebalkan?

Satu hal: selalu ingat bahwa kamu adalah tamu. Setiap kali kamu mau melakukan sesuatu, tanya ke diri sendiri, “Kalau ini dilakukan orang asing di lingkungan rumahku sendiri, aku bakal terganggu nggak?” Kalau jawabannya iya, berarti kamu harus cari cara lain. Respek dan empati itu jauh lebih penting daripada konten media sosial atau kenyamanan sesaat.

Dengan sikap seperti itu, ke mana pun kamu pergi, kemungkinan besar kamu akan dikenang bukan sebagai turis yang bikin kesal, tapi sebagai tamu yang menyenangkan untuk diterima lagi.

Berita lainnya


+62-815-1121-9673